Senyuman Lena
Di suatu pagi yang cerah, terdengar kicauan burung camar
yang terbang dengan bebasnya.Embun pagi yang membasahi helai-helai daun di
halaman rumah tampak jernih dan menyejukkan mata.Menyadari kalau hari sudah
siang, aku segera bangun dan merapikan tempat tidur. Suara Bu Herwin, ibuku,
yang memekakkan telinga pun mengagetkanku.
“ Lenaaaaa...!!! Bangun,Sayang...!!! Ayo siap-siap ke
sekolah..!!!” perintah Bu Herwin.
“ Iya Bu.. Ni Lena udah bangun kok..”
Dengan santainya aku berlari menuju kamar mandi. Sepuluh
menit kemudian, aku sudah berpakaian rapi dan membawa tas ransel mungilku
menuju ruang makan. Di sana, Ibu sudah menyiapkan sarapan untukku.
“ Lena.. Kamu kan sudah kelas dua SMA. Mbok ya dewasa
sedikit.Masa’Ibu terus yang bangunin kamu,Sayang?Ibu pengen kamu itu paham
dengan tanggung jawab kamu...” kata Ibu.
“ Iya Bu. Lena ngerti kok. Lena juga udah berusaha make alarm
HP, Bu. Tapi, susahnya minta ampun... Lena bakal lebih berusaha lagi deh...” ujarku
sambil tersenyum.
“ Iya, iya Lena. Ibu mau lihat perubahan kamu.”
“Ibu tunggu aja.Pasti Lena bisa kok.”Kataku optimis.
(^_^)
SMA 1 GARUDA.Disinilah akubersekolah.Sekolah elit untuk kaum
atas yang bisa dibilang punya segudang prestasi itu termasuk sekolah yang
paling bergengsi di Surabaya.Bisa dibilang, sekolah ini setara dengan SMA 45
Jakarta dan SMA 36 Pancasila yang terkenal itu.Yang menarik, sekolah ini juga
memberi beasiswa bagi para siswa tidak mampu yang berprestasi.Jadi, aku
termasuk beruntung karena dia termasuk salah satu siswa yang memperoleh
beasiswa itu.Bayangkan saja. Anak seorang pegawai negeri sipil dan ibuku yang
hanya punya usaha kecil-kecilan di depan rumahnya itu bisa sekolah di SMA 1 GARUDA.
Benar-benar beruntung.
Sesampainya di kelas, aku langsung disapa oleh Dewi dan
Weldi, teman karibku.Dewi adalah anak seorang pengusaha ternama di Surabaya,
sedangkan Weldi adalah putra Henry Corporation, sebuah perusahaan yang kini
telah melanglang buana di Indonesia.Meski keduanya anak orang mampu, mereka
tidak malu berteman denganku yang secara status jauh di bawah mereka.
“ LENAAAA...!!!! Sini kawan..!!! Udah tak tunggu dari tadi
lho..!!!” kata Dewi.
“ Iya nih Len, mana oleh-olehnya nih? Aku kangen banget sama
masakan ibu kamu... “ Weldi pun ikut-ikutan.
“ Apa sih rek...
Emang kamu mau makanan apa sih dari ibuku Wel? Nanti tak bilangin wes... “ aku
menanggapi.
“ Wah, beneran nih? Aku pengen semur tahu Len.Enak tau
masakan ibumu.“ pinta Weldi.
“ Iya, nanti aku ngomong sama Ibu. Eh Wi, kemarin katanya
kak Pras menang olimpiade Fisika senasional ya? “ tanyaku.
“ Wah, kak Pras lagi kak Pras lagi... Len.. Len... sejak
kapan kamu jadi merhatiin kak Prasetyo..?”
“ Kancuma nanya aja Wi.. Kamu kan adiknya, jadi gak apa-apa
dong kalau aku nanya...” kataku tersipu.
“ Nah, nah, Wi, Lena malu tuh... Cieee...Nurin Arlina dan
Eka Prasetyo... Uhuyyy...!!”goda Weldi.
“ Ah, apa sih Wel... Kamu cemburu ya..? Hehehe”aku pun
menggodanya.
“ Nggak ya... Tapi, kalo sahabatku yang satu ini jadian sama
kak Pras juga nggak apa-apa kok...”
“ Wah, jangan sama mas Pras Len! Nanti aku jadi apa kalo
kamu jadian sama dia?” protes Dewi.
“ Lho, kamu kan tetep adeknya kak Pras tho Wi, tapi bedanya
kamu jadi punya kakak ipar yang namanya Lena. Hahaha...” goda Weldi.
“ Ahhh.... Kalian berdua ni sama aja..!!! Aku mau ke kantin
dulu.Haus nih!” kataku kesal.
“ Aku ikutan! Weldi disini aja!” pinta Dewi.
Weldi pun hanya bisa melongo mendengar kata-kata Dewi.
“ Yah... aku sendirian lagi nih...” ungkapnya sedih.
Aku dan Dewi pun hanya bisa tertawa.
(^_^)
“Len, kamu suka sama mas Pras?” tanya Dewi.
“ Nggak, Wi. Aku Cuma kagum aja sama dia.”Akuku.
“ Ah, yang bener kamu Len... ”
“ Iya kok... Aku kagum sama dia. Dia masih bisa berprestasi
meski dari kalangan orang berada. Tapi aku...” Aku tertegun.
“ Tapi apa Len..?”
“ Apa yang bisa kubanggain Wi..? Aku cuma beruntung aja bisa
sekolah di sini.”
“ Itu udah merupakan prestasi buat kamu Len. Aku aja belum
tentu bisa sepintar kamu.Bayangin aja, dari 24 orang di kelas, kamu bisa dapat
peringkat satu dengan rata-rata hampir 9.Buat aku itu udah merupakan hal luar
biasa Len. Mas Pras aja rata-ratanya nggak setinggi itu... Jadi, sekarang yang
kamu lakuin itu hanyalah gimana caranya supaya kamu bisa pertahanin prestasi
kamu di sini. Jujur aja Len, aku merasa nyaman banget temenan sama kamu. Kamu
baik banget, nggak kayak anak-anak disini.Meski kamu berbeda dari kami, kamu
tetap optimis.Itu yang aku suka dari kamu.” aku Dewi.
“ Bener itu tadi Wi?”
“ Iya. Bener banget!”
Kedua sahabat itu pun tersenyum dan melangkah menuju kelas
mereka.
(^_^)
Was Wes Wos...
Suara anak-anak penghuni kelas XI IPA 3 itu
menyeruak.Bagaimana tidak? Jam belajar telah dimulai, tapi guru Matematika
mereka, Pak Seno, belum menunjukkan tanda-tanda akan mengajar di kelas mereka. Aku,
Weldi, dan Dewi pun kembali ngobrol dengan santainya.
“ Wah... Pak Seno mana nih..? Aku kan mau tanya-tanya
lagi...” gerutu Weldi.
“ Ih, yo percoyo rek sing anake Pak Seno...” ujar Dewi dalam
bahasa Jawa.
“ Udah ta Wel, Wi.... Kalian ini, udah kelas dua masih aja
kayak gini... Kapan kalian bisa akur sih...?” tanyaku.
“NGGAK AKAN!!” teriak mereka bersamaan.Sontak itu membuatku tertawa
terbahak-bahak.Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba Gilang, ketua kelas XI IPA
3, ikut bergabung.
“ pada asyik ngomongin apa sih rek? Kok kayaknya seru
banget..” tanya Gilang.
“Itu lho Gil, Weldi pengen banget ketemu Pak Seno, pengen
tanya-tanya katanya.Nah, Dewi itu ngatain Weldi anaknya Pak Seno.Udah deh,
Semeru meletus lagi...” jelasku.
“ Lhoo...? Sekarang jamnya Pak Seno ya? Aku lupa belum
ngasih tahu anak-anak! Mati konn!! Ada tugas yang harus dikumpulkan!” ujarnya
terburu-buru.
“ GILANG...!!! Kenapa nggak bilang dari tadi....???” gerutuku,
Weldi, dan Dewi.
“ Hehehe...” Gilang tertawa dan kabur ke depan kelas.
(^_^)
Usai mengerjakan tugas Matematika, aku pergi ke
perpustakaan. Di sana, aku bisa bebas membaca buku yang ia suka kapanpun dan
dimanapun. Mbak Eni, perempuan berusia 24 tahun yang menjaga ruangan itu, sudah
mengenalku dengan baik. Wajar saja, hampir tak satu haripun ku lewatkan untuk
mengunjungi perpustakaan.Di ruangan berukuran 15 x 20 meter itu, sudah hampir
separuh koleksi buku-buku yang sudah aku baca.
“ Pagi mbak...” sapaku riang.
“ Pagi juga... Lho, kok udah kesini?” tanya mbak Eni.
“ Iya mbak, lagi jenuh aja di kelas. Pak Seno tadi nggak
masuk, tapi tugasnya udah tak kerjain..” jelasku.
“ Oh, gitu tho.. Eh, Len, dicari tuh sama anak kelas 3...”
kata mbak Eni.
“ Siapa mbak?” tanyaku.
“ Mbaknggak tahu namanya.Dia nitip ini buat kamu kemarin.Sebenernya
dia pingin ngasih ini ke kamu, tapi kamu nggak kesini, jadi dia nitip ini buat
kamu.”Jelas mbak Eni.
Aku hanya terpaku.Menatap sebuah kotak kecil yang dibungkus
kertas kado berwarna biru muda dengan berbagai hiasan hati berukuran kecil yang
berwarna pink.Aku masih menerka-nerka siapa yang memberinya kado seperti
itu.Apakah kemarin hari ulang tahunku?Tentu saja tidak. Ulang tahunku masih
bulan depan. Lalu, apa maksud kakak kelas itu ya..?
“ Mbak, dia dari kelas apa sih? Cowok, atau cewek?” tanyaku
penasaran.
“ Mbak sudah tanya, tapi dia nggak mau ngaku. Cowok kok.”
Kalimat itu terngiang di telingaku. Seorang anak laki-laki
kelas 3 memberinya sebuah kado yang entah apa isinya. Aku penasaran dengan si
pengirim.
“ Ya wes mbak, makasih nggeh.”
“ Iya Len, sama-sama.”
Diambilnya segera kado itu.Lalu, aku menuju salah satu rak
buku favoritku dan mengambil salah satu buku yang belum pernah kubaca. Tak jauh
dari sana, aku merasa ada sepasang mata elang yang mengawasiku. Kira-kira,
siapa pemilik mata elang itu ya?
(^_^)
Cowok yang mempunyai tinggi 175 cm itu melangkahkan kakinya
menuju kelas XII IPA 7. Sepanjang perjalanan, ia tersenyum mengingat kejadian
di perpustakaan itu. Betapa lucunya ekspresi anak perempuan yang disukainya.
Ketika langkahnya mendekati kelasnya...
“ TIOOOO!!!! Kamu dari mana aja sih?” gerutu Andi.
“ Aku dari perpus kok.” Jawabnya santai.
“ HAH?!? Ngapain?”
“ Biasa, lagi pengen cari udara segar...”
“ Oh, kirain ngapain...”
“ Bu Elin ada nggak?”
“ Ada, tadi nyuruh kita ke perpus, tapi anak-anak pada nggak
mau.”
“ Wah, kebetulan banget. Ayo ikut aku Ndi!” ajak cowok yang
bernama Tio itu.
“ Nggak apa-apa nih? Nanti kamu disorakin cewek-cewek
lagi.Kamu kan tenar banget.” Tolak Andi.
“ Udah, santai aja. Lagipula, aku nggak tertarik sama mereka
kok.”
“ Oke deh.”
Akhirnya kedua cowok itu kembali menuju perpustakaan.
(^_^)
“ Len, ayo balik!” ajak Dewi.
Dewi yang tiba sepuluh menit setelahku sudah agak bosan
melihat buku-buku di perpustakaan.Lihat saja ekspresinya ketika melihatku masih
asyik dengan buku yang kubaca.Tergambar dengan jelas di wajahnya.Jenuh.
“ Ayolah Len...” mulailah ia merengek padaku.
“ Bentar dikit Wi... Ni lagi seru-serunya lho...!!!!”
Mata Dewi yang sipit itu melihat ke sekeliling. Tak jauh
dari tempatnya berada, ia melihat kakaknya yang sepertinya sedang asyik
mengerjakan tugas. Ide isengnya pun muncul. Dengan mengendap-endap ia mendekati
tempat duduk kakaknya yang berada di dekat pintu sebelah selatan.
DORRR!!!!
Lelaki yang bernama Prasetyo itu menoleh ke
belakang.Dilihatnya adiknya yang sudah sukses mengerjainya.
“ Apa tho Wi.... Kapan kamu jera ngerjain mas, hah?”
“ Hehe, lha aku iseng lihat mas yang serius-serius mulu dari
kemarin... Ya percaya yang udah jadi juara satu olim Fisika senasional... Mas,
minta oleh-oleh dari Jakarta dong...”
“ Nanti di rumah kan bisa... Udah ada, kok...Dateng sama
siapa kamu dek?”
“ Sama Lena mas.”
“ Mana Lena? Kok mas nggak lihat dia disini?”
“ Itu....” tunjuk Dewi.
“ Oh iya. Salamin ya dari mas.”Pinta Prasetyo.
“ Oke mas, tapi oleh-olehnya..??” tanya Dewi.
“ Udah mas siapin di rumah. Satu kresek besar.”
“ Wah, yang bener mas? Makasih ya masku sayang...”
“ Iya, jangan lupa lho.”
“ Oke, mas...Siap laksanakan!” angguk Dewi.
Setelah puas berbincang dengan kakaknya, Dewi kembali ke
tempat duduknya.Dilihatnya buku yang kubaca.Tersisa satu halaman. Wah, berarti
bentar lagi balik dong! Pikir Dewi. Benar saja, aku sudah melahap habis buku
yang kubaca.
“ Udah puas Len? Balik yuk...”
“Oke oke sahabatku... Maaf nunggu lama ya...”
“ Hehe, nggak apa-apa kok. Oh, iya. Dapet salam dari mas
Pras.” Kata Dewi.
“ Mana orangnya?”
“ Tuuhh....” tunjuk Dewi.
“ Salam balik deh. Makasih ya.”Kata Lena sambil tersenyum.
“ Oke...” kata Dewi.
Akhirnya kami pun kembali ke kelas diiringi dengan tatapan
Prasetyo dan Andi.
(^_^)
Sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Dewi.Rumah Dewi
sebenarnya tidak terlalu luas, tapi desain bangunannya yang antik memberikan
kesan kalau rumah itu adalah rumah adat Jawa.Aku serasa kembali ke jaman R. A.
Kartini.
“ Ayo masuk Len.. Wel, dicariin Romo tuh...” Kata Dewi. Romo
adalah sebutan untuk ayah Dewi di rumahnya.
“ Lho? Ngapain Wi..?”
“ Nggak tau... Nah, itu Romo.”
“ Wah, wah, wah... Nak Weldi dan Nak Lena datang
berkunjung... Ayo, silahkan masuk.” Sapa Pak Ali.
“ Maaf Dewi pulang agak telat Romo. Tadi macet di
Wonokromo.”
“ Iya, ndak apa-apa nduk. Yang penting kamu selamat sampai
rumah. Nah, Nak Weldi, sini ikut Bapak.” Perintah Pak Ali.
“ Nggeh Pak.”
“ Ayo len, ke kamarku. Ada yang mau tak tunjukin ke kamu.”
Ajak Dewi.
“ Iya Wi.”
(^_^)
Kamar Dewi tampak rapi dengan desain modern.Warna hijau
menghiasi berbagai sudut di kamar ini.Alasannya memilih warna ini hanya agar
matanya terasa sejuk saja. Dinding kamarnya dihiasi dengan berbagai
pernak-pernik lucu, seperti foto dengan frame yang dibuat dari kertas koran
berwarna ungu muda dan jam unik yang diberi neneknya semasa kecil. Ada-ada
saja.
“ Apa yang mau kamu tunjukin Wi?” tanyaku.
Kekasih hati yang hanya
bisa kupandangi dari jauh
Wajah indahmu
Pancarkan cahaya yang
menyinariku
Memberikan kesejukan
pada hatiku
Senyummu mampu
memberikan ketenangan saat aku gundah
Oh Pujaanku
Ingin kukatakan padamu
Betapa besar rasa ini
untukmu
Ku kan selalu menunggumu
Hingga waktu memberi kesempatan
untuk itu
Surabaya, 15 Desember ‘03
|
“
Ini.” Dewi menyodorkan selembar kertas usang padaku.Kuamati
dalam-dalam.Terdapat puisi indah yang terukir disana.
“ Ini... tulisannya siapa Wi?” tanyaku.
“ Mas Pras Len. Aku bingung, siapa kira-kira perempuan yang
disukainya saat ini. Lihat tanggal di suratitu. Itu baru seminggu yang lalu
kan?” tanya Dewi.
“ Iya sih... Tapi kan mungkin saja ini bukan milik kak Pras
Wi..”
“ Nggak mungkin Len! Aku tahu banget ni tulisannya mas Pras.
Pasti dia sedang menyukai anak di sekolah kita. Yang menonjol kan kamu dan
Meta. Pasti diantara kalian berdua.” Ungkap Dewi.
“ Tapi yang mas Pras pasti suka sama Meta Wi.Mereka kan
sering jalan bareng di sekolah. Seisi sekolah sampai mengira mereka pacaran
lho.”Ujarku.
“ Mungkin sih, tapi kan nggak tau juga Len..” ujarnya
pasrah.
“ Udah, nggak apa-apa, biar dulu Dew... Nanti juga bakal
terungkap kok Wi... Kita tunggu aja tanggal mainnya...”
“ Ehmmm... Oke deh Len... Aku percaya sama kata-katamu...”
“ Nah, gitu dong. Itu baru sahabatnya Lena..” ujarku.
Dewi pun hanya bisa tersenyum.Akhirnya mereka mengobrol
hingga tiba-tiba Weldi datang.
“ Nah, Wel, bagi-bagi crita dong... Tadi kamu diapain sama
Romo?” tanga Dewi.
“ Nggak kok, Cuma disuruh nyampein salam aja ke Papa.
Katanya mau kerja sama gitu.. Aku juga nggak ngerti maksudnya...”
“ Oh gitu... Dew, aku pamit pulang dulu ya.Nanti dicariin
ibu lagi, bisa berabe ntar...” pamit Lena.
“ Oke...” kata Dewi.
Saat keluar dari kamar Dewi, aku bertemu dengan kak Prasetyo.
“ Lho, Lena... Udah lama tho neng?”
“ Nggak kok Kak, baru aja... Ni mau pulang...” kataku.
“ Mau saya anter neng?”
“ Ndak usah Kak, Lena naik angkot aja.”
“ Lho, nggak apa-apa. Biar saya anter aja.”Pinta Prasetyo.
“ Iya deh kak. Tapi, kakak jangan kecewa kalo nyampe rumahku.
Rumahku kan jelek kak..”ungkapku.
“ Iya, nggak apa-apa kok.. Rumah saya sama rumahnya neng kan
sama saja, ada pintunya, ada atapnya... Nggak ada bedanya neng.”Kata kak
Prasetyo.
“ Wah, kak Pras ni bisa aja... Hehehe”
Maka, jadilah kepulanganku itu diantar oleh kak Pras
menggunakan motornya.Aduh... Hati ini mendadak deg-degan tak karuan.Apa mungkin
aku benar-benar suka sama kak Pras ya?
“ Neng, kok diem aja?” tanya kak Pras.
“ Nggak kok kak, nggak apa-apa. Saya cuma mikir aja, apa
mungkin orang seperti saya bisa lebih berprestasi lagi?”
“ Neng bisa kok. Saya lihat, neng kan punya semangat belajar
yang tinggi, jadi neng pasti bisa. Lihat saja Helen Keller, Neng. Di tengah
keterbatasan yang dia miliki, dia bisa menjadi orang yang berpengaruh di dunia
sampai saat ini kan?”
Benar juga, pikirku.Terpikir olehku untuk mencamkan
kata-kata kak Pras.Aku pasti bisa meningkatkan prestasi yang kupunya saat ini.
Tak terasa waktu berlalu. Aku sudah sampai di depan rumah.
Segalanya memang terasa menyenangkan jika bersama dengan kak Pras.
Aku pun turun dari motornya dan mengajaknya masuk.
“ Kak, ayo masuk dulu. Saya buatkan teh.”Ajakku.
“ Nggak usah Neng, saya mau langsung pulang saja.”
“ Nggak apa-apa nih kak? Ayo, masuk dulu. Kakak nggak capek
udah nyetir selama itu?”
“ Iya deh neng, saya masuk...”
Kak Pras tak bisa menolak undanganku.Lega ku
mendengarnya.Coba kalau dia menolak, aku pasti dimarahi ibu.
(^_^)
Saat masuk ke rumah Lena, aku tertegun.Interior rumahnya
sungguh sederhana, tak kutemukan tanda-tanda kemewahan.Di sudut rumahnya
terdapat rak kecil berisi foto-fotonya semasa kecil. Ada saat Lena memakai
kebaya, saat ia bermain di sekolahnya, bahkan saat ia masih kecil. Gemas sekali
aku melihatnya.
“ Hayo, kak Pras lihat apa?”
Suara Lena mengagetkanku.
“ Nggak kok Neng, cuma lihat fotonya Neng pas kecil.
Imut-imut ya... Sekarangpun Neng masih cantik.” Kataku sungguh-sungguh.
“ Masa’ sih kak? Wajah saya kan biasa-biasa saja. Ini, ayo
diminum dulu.”
“ Makasih ya.” Kataku.Ia hanya tersenyum.
Setengah jam kemudian, aku pamit padanya. Sekarang sedang
musim hujan dan aku tidak membawa jas hujan, karena itu, aku pamit untuk pulang
lebih cepat dari biasanya.
“ Iya kak, hati-hati. Terima kasih atas tumpangannya tadi.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian motorku melaju
di tengah padatnya jalanan Surabaya.
(^_^)
Di kamar, aku membuka kado dari kakak kelas misterius
itu.Isinya sebuah bros mahal berbentuk mawar yang berwarna pink cerah.Bros itu
berkilau saat terkena sinar matahari.
“ Indah sekali..” gumamku.
Besertanya, ada sepucuk surat. Kubuka pelan-pelan, dan
kubaca baris demi baris yang tertulis disuratyang terselip di kotak itu.
Surabaya, 21
Desember 2003
Dearest Nurin
Arlina
Maaf aku tak
bisa memberikan apa-apa sebagai wujud rasaku untukmu.Hanya ini yang mampu
kuberikan untukmu.Kuharap engkau senang menerimanya.
Sudah
lama kupendam rasa ini untukmu.Tiap kali aku memandangmu, aku merasa
seolah-olah duniaku terasa lebih indah.Saat aku berbincang-bincang
denganmu, aku merasa lebih hidup.Aku tak tahu mengapa hal ini bisa terjadi
padaku.Tapi, semua yang kulakukan ini hanya kupersembahkan untukmu.Aku
mencintaimu, Lena.Maukah kau menjadi kekasih hatiku?
Kutunggu
jawabanmu sepulang kegiatan ekskul.
Eka Prasetyo.
|
Mataku terbelalak. Kak Pras? Kak Pras suka padaku?Apa yang
harus kulakukan? Aku bingung, sangat bingung.
Di tengah kebingunganku, tiba-tiba...
KRINGGG...!!!!
Alunan ringtone HPku berbunyi.Kulihat layarnya.Weldi? Ada
apa?
“ Ya, Wel... Tumben jam segini nelpon...” tanyaku.
“ Iya nih. Ada yang mau aku tanyain ke kamu.”
“ Mau tanya apa Wel?”
“ Sebenernya tiga bulan yang lalu kak Pras udah cerita ke
aku semuanya Len. Dia udah lama suka sama kamu, sejak kamu masih kelas satu
malah.”
“ Dia bisa tau aku dari mana Wel?”
“ Dia tahu kamu dari aku. Aku nggak sengaja keceplosan
ngomong Len. Waktu itu calon penerima beasiswa kan kamu sama Aini anak XI IPA
1. Nah, aku lagi heboh-hebohnya. Kak Pras tanya-tanya deh. Mungkin dari situ
dia penasaran sama kamu. Beruntungnya, kamu ikut ekskul yang sama dengannya.
Dia jadi suka ngelihatin kamu, Len...” terangnya.
“ Trus aku harus gimana Wel? Dia ngirim kado yang isinya
bros mahal ke aku, ada suratnya lagi...”
“Iya, aku tahu kok. Dia baru aja cerita sama aku. Sekarang,
kamunya gimana sama dia..?” tanya Weldi.
“ Sebenernya aku sayang banget sama kak Pras Wel... Tapi
kayaknya nggak mungkin...”
“ Kenapa?”
“ Dia kan dekat sama Meta, sampai-sampai seisi sekolah ngira
mereka pacaran... Aku nggak mau ngrusak hubungan mereka, Wel...” ungkapku
pasrah.
“ Dia nggak ada perasaan apa-apa sama Meta Len, dia cuma
sahabat biasa sama Meta...” jelas Weldi.
“ Gini aja, kalo kamu nggak percaya, kau ngomong langsung
aja sama kak Pras. Gimana?” tawar Weldi.
“ Ehm... terserah deh Wel...”
“ Nanti nopemu aku kasih ke dia nggak apa-apa kan Len?”
“ Iya, nggak apa-apa kok...”
“ Oke deh. See you ya..”
“ Thanks Wel...”
“ Oke...”
(^_^)
Malam itu aku tak bisa tidur dengan nyenyak.Aku bingung.Apa
yang harus aku katakan pada kak Pras? Apa kata Dewi jika ia tahu akan hal ini?
Sunnguh, tak terbayang olehku jika seorang Eka Prasetyo bisa suka padaku.Sampai
sekarang pun rasanya seperti berada dalam mimpi.
Trrrr... Trrr...
Handphoneku
bergetar.Kutatap layarnya.Private
number.Siapa ya yang menelpon tengah malam begini?
“ Halo..? Ini Lena kan?” suara di seberang sana menyapaku.
“ Iya. Ini siapa ya?” tanyaku.
“ Ini aku Len, Andi, sahabat Prasetyo. Aku ingin ngomong
banyak sama kamu, tapi kapan enaknya?”
“ Gini aja mas, kita ngomong lewat sms saja. Saya nggak enak
kalo ngomong malem-malem gini.”
“ Oh, oke. Maaf sudah ganggu dek.”
“ Iya, nggak apa-apa kok mas.”
Kututup telepon itu dengan pelan.Semenit kemudian, ada sms
masuk.
+6285745333*** :
Lena, ini saya Andi.
+6285649999*** :
Oh ya mas. Yang mau
mas omongin itu apa sih?
+6285745333***
: Iya. Saya
mau ngomong masalah Tio dek.Tapi harus ngomong langsung.Kalo lewat sms nggak
enak.Gimana?
+6285649999***
: Oke deh mas, gimana kalo besok saja ketemu di
perpustakaan jam istirahat? Tapi boleh kalau saya minta ditemani Weldi?
+6285745333***
: Oke deh,
setuju dek. Tapi, saya minta, Tio jangan sampai tahu ya.
+6285649999*** : Iya mas. Lagipula, saya nggak punya nomernya kok.
+6285745333***
: Makasih
ya dek.
+6285649999*** : Sama-sama Mas.
Lalu, aku tertidur pulas.
(^_^)
Keesokan harinya, saat istirahat.
Aku dan Weldi segera menuju perpustakaan. Disana, kami telah
mendapai mas Andi sudah duduk di depan meja. Segera saja kudatangi dia dan kami
pun berbincang-bincang.
“ Nah, mas, mas mau ngomong apa soal kak Pras?”
“ Gini, dek. Tio itu sudah tertarik sama kamu sejak dia tahu
kamu yang mendapat beasiswa untuk sekolah di sini. Setiap hari saat istirahat,
dia selalu menyempatkan diri ke kelasmu untuk bertemu dengan adiknya. Kamu tahu
kenapa?” tanya mas Andi.
“ Tentu untuk melihat keadaan Lena kan mas?” tebak Weldi.
“ Tidak hanya itu. Dia berusaha mendekati kamu sebulan
terakhir ini, Len.Apa kamu merasakan hal itu?”
“ Ehm... ndak mas, jujur saja tidak. Saya pikir kak Pras
hanya menganggap saya sebagai adik kelasnya saja, tidak lebih.Justru saya pikir
dia pacaran dengan Meta.”
“ Meta itu teman masa kecilnya. Bukankah kau sudah tahu akan
hal itu?”
“ Tapi, Dewi tidak pernah bercerita apapun soal itu mas.”
“ Wajar saja, Meta dan Tio berteman saat Dewi berumur satu
tahun. Tentu saja Dewi tidak mengenal Meta karena Tio selalu mengajaknya main
di luar rumah.”
Aku terdiam.Weldi menatapku dalam-dalam.Aku pun menatapnya.
“ Bagaimana? Kau sudah yakin Len?”
“ Tentang apa Wel?”
“ Tentang perasaanmu pada kak Pras.”
“ Hufftt... Mungkin sudah.”
“ Dan jawabanmu adalah..?” Weldi menggantung kalimatnya.
“ Aku tak bisa mengatakannya sekarang.”
“ Oke, aku hargai itu.” Ujarnya.
“ Nah, sekarang aku balik dulu ya.” Mas Andi pamit.
“ Oke mas.” Kata Weldi.
Aku dan Weldi pun memutuskan untuk kembali ke kelas.
(^_^)
Saat pulang sekolah, tak sengaja aku bertemu Lena di depan
gerbang. Aku mengajaknya pergi ke salah satu tempat favoritku, Taman
Resainannce.Untung saja dia mau.Lumayan, ada kesempatan untuk ngomong secara
langsung.
Sesampainya di Taman Resainannce, aku memberinya es krim
coklat, sebuah makanan favoritnya.Disana, aku sudah menyiapkan beberapa tangkai
bunga mawar warna merah sebagai tanda cintaku untuknya.
“ Neng...”
“ Iya kak...”
“ Sudah kamu buka kado kakak kemarin?”
“ Sudah kak.”
“ Neng suka kadonya?”
“ Suka kok kak. Siapa sih cewek yang nggak suka kalo dikasih
hadiah secantik itu...” jawabnya jujur.
“ Syukurlah kalo neng suka. Udah baca suratnya juga?”
“ Ehm... Sudah kak.”
“ Terus jawaban pertanyaan kakak apa?”
“ Ehm...”
Dia hanya diam. Satu menit, dua menit, hingga tak terhitung
berapa lamanya.Lalu, kuputuskan untuk mengatakannya sekali lagi.Aku tatap
matanya, dan kuberikan mawar yang telah kusiapkan untuknya.Ia tertegun dan
menatapku. Mata kami bertemu.Aku bersimpuh padanya, dan saat itulah kukatakan
padanya.
“ Neng, Neng tahu apa arti bunga ini?”
“ Tahu kak.”
“ Sekarang saya mau jujur sama Neng. Ingat kejadian di
lapangan sekolah?Saat Neng ikutan MOS?”
“ Yang mana kak?” tanyanya.
“ Waktu itu, Neng adalah orang yang selalu diejek di sekolah
ini. Neng diejek karena hanya bisa masuk melalui beasiswa.Iya kan?” tanyaku.Ia
mengangguk.
“ Karena benci, salah seorang teman saya mengerjai Neng
sampai masuk ke kelas XII IPS 6, kelas yang paling killer. Neng hampir saja
pingsan saat berada di kelas itu.”
“ Iya, saya ingat kak. Waktu itu saya disuruh untuk mencari
salah seorang kakak kelas yang namanya saya lupa.Karena takut, saya hampir
pingsan.Kalau tidak kakak tolong, entah apa jadinya.”
“ Mulai dari sanalah saya suka sama Neng. Saya berusaha memendam
rasa ini, tapi selalu saja nggak bisa.Saya suka merhatiin Neng saat istirahat.
Lihat kalo Neng lagi bercanda sama teman, ngerjain Weldi, sampai saat Neng baca
buku. Saya cinta sama kamu, Lena. Kamu mau jadi kekasih hati saya?”
Akhirnya, kukatakan juga!
“ Kak...”
“ Iya?”
“ Jujur kak, saya kagum sama kakak. Kakak beda dengan
kebanyakan anak laki-laki di sekolah. Saya ingin punya prestasi seperti
kakak.Karena itu, saya menjadikan kakak sebagai motivasi bagi saya.”Katanya.Bagiku,
kalimat itu seperti menggantung.
“ Tapi, saya juga tidak memungkiri kalau saya juga sayang
sama kakak. Saya... Saya mau kok jadi kekasih hati kakak.”Ia berkata sambil
tersenyum padaku. Ia mengambil mawar yang ada di tanganku, lalu melihatnya
dalam-dalam. Aku bersyukur, kali ini aku memilih gadis yang tepat. Seorang
gadis berumur 17 tahun yang mempunyai sikap dewasa dan dapat mengerti aku apa
adanya.
Kugandeng tangannya, dan kuantar dia pulang ke
rumah.Sepanjang perjalanan, aku melihatnya tersenyum bahagia. Ah... . Damainya
hatiku saat bersamanya... .